“Bung Karno, Bung Hatta, Pak Harto, dimakamkan
di luar makam pahlawan, apakah itu tidak akan mengurangi wibawa makam pahlawan?”
tanya seorang tetangga.
Pertanyaan itu menyebabkan Pak
Slamet, pejuang kemerdekaan, tertegun. Banyak bintang jasa melekat di dadanya.
Di dinding kamar bergantungan kenang-kenangan semasa perjuangan.
Dharma-bhaktinya kepada negara tak perlu diragukan lagi. Orang yakin kalau
Slamet meninggal, tempatnya di peristirahatan paling terhormat itu.
Lalu Slamet berunding dengan
istrinya.
“Bu, bagaimana nanti kalau aku
jangan dikuburkan di makam pahlawan, tapi di pekuburan umum biasa saja?”
Bu Slamet terkejut. Ia tidak
langsung menjawab suaminya, tetapi memanggil anak-anaknya untuk diajak
berunding.
“Bapakmu itu makin tua makin aneh.
“katanya, “masak sekarang dia mau membuang semua jasa-jasanya yang sudah
menyebabkan hidup kita semua menderita. Coba kalau dia tidak menghabiskan
waktunya berjuang untuk membela bangsa dan negara, tapi jadi pedagang saja,
barangkali dia sudah jadi konglomerat sekarang seperti yang lain-lain. Hidup
kita pun tidak pas-pasan dan dihinakan seperti sekiarang ini. Coba kritik
bapakmu itu, jangan punya niat macam-macam lagi kalau sudah tua!”
Anak-anak Pak Slamet terbelah dalam
dua kutub pendapat. Satu pihak setuju bapaknya, yang lain kontra. Yang kontra
lalu maju dan mulai menggerpol.
“Saya dengar Bapak mau melepaskan
hak Bapak untuk dimakamkan di makam pahlawan?”
“Itu bukan hak, tetapi penghargaan
negara bagi para pejuang.”
“Ya apa pun namanya, tapi itu sebuah
kehormatan yang baik untuk kita semua. Jadi berikanlah kesempatan kepada kami
untuk berbangga dan berikanlah kesempatan negara untuk menghargai
pahlawan-pahlawannya.”
“Tapi aku bukan pahlawan.”
“Pak, tanda jasa dan penghargaan
yang setumpuk itu tidak bisa dibohongi. Semua orang tahu Bapak ini pahlawan.”
“Aku bukan pahlawan!”
“Jangan begitu, Pak!”
“Aku tidak pernah merasa diriku jadi
pahlawan! Lihat saja, apa akibatnya sekarang karena aku terlalu sibuk berjuang?
Akibat tidak memperhatikan nasib keluarga, sekolah kalian semuanya putus. Kita
tidak punya rumah sendiri. Kendaraan tidak ada. Di mana-mana kita tidak
diterima karena kita tidak pakai dasi dan jas. Akibat bapak tidak punya
kedudukan, ibumu dilecehkan oleh keluarganya! Aku orang yang gagal!”
Pak Slamet kemudian menutup mukanya
dan menangis. Anak-anak terpaksa menyerah. Untung ibunya datang dan langsung
membentak.
“Makanya! Kalau sudah sadar tidak
punya apa-apa yang bisa dibanggakan, jangan sok membuang-buang kesempatan,
tidak mau dimakamkan di makam pahlawan. Itu namanya tidak tahu diri! Egois!
Sudah jangan mewek! Pahlawan kok menangis!”
Pak Slamet terpaksa menghentikann
tangisnya. Pada kesempatan yang baik, dia kemudian mengadu kepada anak-anak
yang menyetujui sikapnya.
“Meskipun aku ini pahlawan yang dulu
selalu berjuang dan pantang menyerah menghadapi musuh yang galak seperti setan
sekali pun,” bisiknya supaya jangan sampai terdengar orang lain, ” tetapi kalau
menghadapi masalah-masalah keluarga, terutama berhadapan dengan ibu kamu, aku
menyerah. Dia tidak mengerti apa mauku.”
Anak-anaknya mendengarkan dengan
penuh simpati.
“Jelek-jelek begini, aku juga ingin
memberikan kebanggaan kepada kalian semuanya, karena aku tidak mampu memberikan
kebahagiaan materi, seperti teman-temanku yang lain. Mereka punya naluri
dagang, pintar melihat kesempatan dan berani menanggung resiko dan berspekulasi.
Aku tidak. Bapakmu ini selalu ragu-ragu, tidak berani membuat keputusan. Aku
ini keturunan abdi dalem. Jadi yang bisa aku lakukan hanya satu, mengabdi.
Menjalankan tugasku sebaik-baiknya. Tetapi untuk hidup di zaman kemerdekaan,
ternyata itu tidak cukup. Jadi Bapak sedih. Kamu mengerti jmaksud Bapak?”
Anak-anak Pak Slamet mengangguk.
“Syukurlah kalau masih ada kalian
yang mengerti. Tapi lihat sekarang apa yang terjadi. Menjadi pahlawan pun bukan
kebanggaan lagi. Karena sudah terlalu banyak pahlawan gadungan. Pahlawan
kesiangan. Pahlawan karbitan. Kamu dengar itu di Bali, katanya ada orang yang
resmi diangkat pahlawan, tapi sudah dibantah lagi oleh para pejuang lain yang
mengetahui, bahwa yang bersangkutan bukan pahlawan. Dan periksa siapa-siapa sekarang
yang dimakamkan di makam pahlawan. Tidak semuanya adalah orang-orang yang
setara kelasnya dengan Pak Dirman. Makanya aku mengerti mengapa Bung Karno,
Bung Hatta dan Pak Harto memilih dimakamkan di luar. Kamu mengerti sekarang
maksudku?”
Anak-anak tak menjawab.
“Jadi sebenarnya dengan menolak
dimakamkan di taman pahlawan, aku sebenarnya ingtin memberikan kebanggaan
kepada kalian semua. Kepada ibu kamu, kepada keluarga besar kita. Biar
orang-orang itu melihat, tidak semua orang sudah jatuh moralnya dan berebut
keuntungdan dan kehormatan. Masih ada Bapakmu ini, dengan segala bintang jasa,
penghormatan dan pengabdian jiwa-ragaku yang tanpa pamrih dalam mengabdi
negara, kok masih mampu menolak kehormatan tinggi untuk diabadikan di makam
pahlawan. Jadi dengan tindakanku ini sebenarnya Bapak bukannya ingin memangkas
kebanggaan kalian. Tidak! Tetapi justru menambah. Media massa nanti pasti akan
heboh. Semua orang akan memuji. Lihat itu Pak Slamet, masih murni dan jujur
sementara orang lain sudah tidak bisa dipercaya lagi. Begitu maksudku. Kalian
paham?”
Anak-anak mengangguk.
“Aku tidak perlu disebut pahlawan
atau tidak. Tidak diabadikan di makam pahlawan pun aku sudah pahlawan. Untuk
apa terlalu banyak pahlawan bikin sejarah sumpek saja. Yang kita perlukan sekarang
adalah perbuatan kepahlawanan. Ya kan?!!”
Anak-anak diam seribu bahasa. Tetapi
bukan lantaran menyimak. Karena salah satu di antaranya diam-diam sudah sempat
menyelidiki. Ternyata memang tidak ada kapling untuk Pak Slamet di Taman
Pahlawan.
*Cerpen ini diambil dari http://putuwijaya.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar