Rabu, 27 Februari 2013

Pahlawan




 “Bung Karno, Bung Hatta, Pak Harto, dimakamkan di luar makam pahlawan, apakah itu tidak akan mengurangi wibawa makam pahlawan?” tanya seorang tetangga.
Pertanyaan itu menyebabkan Pak Slamet, pejuang kemerdekaan, tertegun. Banyak bintang jasa melekat di dadanya. Di dinding kamar bergantungan kenang-kenangan semasa perjuangan. Dharma-bhaktinya kepada negara tak perlu diragukan lagi. Orang yakin kalau Slamet meninggal, tempatnya di peristirahatan paling terhormat itu.
Lalu Slamet berunding dengan istrinya.
“Bu, bagaimana nanti kalau aku jangan dikuburkan di makam pahlawan, tapi di pekuburan umum biasa saja?”
Bu Slamet terkejut. Ia tidak langsung menjawab suaminya, tetapi memanggil anak-anaknya untuk diajak berunding.
“Bapakmu itu makin tua makin aneh. “katanya, “masak sekarang dia mau membuang semua jasa-jasanya yang sudah menyebabkan hidup kita semua menderita. Coba kalau dia tidak menghabiskan waktunya berjuang untuk membela bangsa dan negara, tapi jadi pedagang saja, barangkali dia sudah jadi konglomerat sekarang seperti yang lain-lain. Hidup kita pun tidak pas-pasan dan dihinakan seperti sekiarang ini. Coba kritik bapakmu itu, jangan punya niat macam-macam lagi kalau sudah tua!”
Anak-anak Pak Slamet terbelah dalam dua kutub pendapat. Satu pihak setuju bapaknya, yang lain kontra. Yang kontra lalu maju dan mulai menggerpol.
“Saya dengar Bapak mau melepaskan hak Bapak untuk dimakamkan di makam pahlawan?”
“Itu bukan hak, tetapi penghargaan negara bagi para pejuang.”
“Ya apa pun namanya, tapi itu sebuah kehormatan yang baik untuk kita semua. Jadi berikanlah kesempatan kepada kami untuk berbangga dan berikanlah kesempatan negara untuk menghargai pahlawan-pahlawannya.”
“Tapi aku bukan pahlawan.”
“Pak, tanda jasa dan penghargaan yang setumpuk itu tidak bisa dibohongi. Semua orang tahu Bapak ini pahlawan.”
“Aku bukan pahlawan!”
“Jangan begitu, Pak!”
“Aku tidak pernah merasa diriku jadi pahlawan! Lihat saja, apa akibatnya sekarang karena aku terlalu sibuk berjuang? Akibat tidak memperhatikan nasib keluarga, sekolah kalian semuanya putus. Kita tidak punya rumah sendiri. Kendaraan tidak ada. Di mana-mana kita tidak diterima karena kita tidak pakai dasi dan jas. Akibat bapak tidak punya kedudukan, ibumu dilecehkan oleh keluarganya! Aku orang yang gagal!”
Pak Slamet kemudian menutup mukanya dan menangis. Anak-anak terpaksa menyerah. Untung ibunya datang dan langsung membentak.
“Makanya! Kalau sudah sadar tidak punya apa-apa yang bisa dibanggakan, jangan sok membuang-buang kesempatan, tidak mau dimakamkan di makam pahlawan. Itu namanya tidak tahu diri! Egois! Sudah jangan mewek! Pahlawan kok menangis!”
Pak Slamet terpaksa menghentikann tangisnya. Pada kesempatan yang baik, dia kemudian mengadu kepada anak-anak yang menyetujui sikapnya.
“Meskipun aku ini pahlawan yang dulu selalu berjuang dan pantang menyerah menghadapi musuh yang galak seperti setan sekali pun,” bisiknya supaya jangan sampai terdengar orang lain, ” tetapi kalau menghadapi masalah-masalah keluarga, terutama berhadapan dengan ibu kamu, aku menyerah. Dia tidak mengerti apa mauku.”
Anak-anaknya mendengarkan dengan penuh simpati.
“Jelek-jelek begini, aku juga ingin memberikan kebanggaan kepada kalian semuanya, karena aku tidak mampu memberikan kebahagiaan materi, seperti teman-temanku yang lain. Mereka punya naluri dagang, pintar melihat kesempatan dan berani menanggung resiko dan berspekulasi. Aku tidak. Bapakmu ini selalu ragu-ragu, tidak berani membuat keputusan. Aku ini keturunan abdi dalem. Jadi yang bisa aku lakukan hanya satu, mengabdi. Menjalankan tugasku sebaik-baiknya. Tetapi untuk hidup di zaman kemerdekaan, ternyata itu tidak cukup. Jadi Bapak sedih. Kamu mengerti jmaksud Bapak?”
Anak-anak Pak Slamet mengangguk.
“Syukurlah kalau masih ada kalian yang mengerti. Tapi lihat sekarang apa yang terjadi. Menjadi pahlawan pun bukan kebanggaan lagi. Karena sudah terlalu banyak pahlawan gadungan. Pahlawan kesiangan. Pahlawan karbitan. Kamu dengar itu di Bali, katanya ada orang yang resmi diangkat pahlawan, tapi sudah dibantah lagi oleh para pejuang lain yang mengetahui, bahwa yang bersangkutan bukan pahlawan. Dan periksa siapa-siapa sekarang yang dimakamkan di makam pahlawan. Tidak semuanya adalah orang-orang yang setara kelasnya dengan Pak Dirman. Makanya aku mengerti mengapa Bung Karno, Bung Hatta dan Pak Harto memilih dimakamkan di luar. Kamu mengerti sekarang maksudku?”
Anak-anak tak menjawab.
“Jadi sebenarnya dengan menolak dimakamkan di taman pahlawan, aku sebenarnya ingtin memberikan kebanggaan kepada kalian semua. Kepada ibu kamu, kepada keluarga besar kita. Biar orang-orang itu melihat, tidak semua orang sudah jatuh moralnya dan berebut keuntungdan dan kehormatan. Masih ada Bapakmu ini, dengan segala bintang jasa, penghormatan dan pengabdian jiwa-ragaku yang tanpa pamrih dalam mengabdi negara, kok masih mampu menolak kehormatan tinggi untuk diabadikan di makam pahlawan. Jadi dengan tindakanku ini sebenarnya Bapak bukannya ingin memangkas kebanggaan kalian. Tidak! Tetapi justru menambah. Media massa nanti pasti akan heboh. Semua orang akan memuji. Lihat itu Pak Slamet, masih murni dan jujur sementara orang lain sudah tidak bisa dipercaya lagi. Begitu maksudku. Kalian paham?”
Anak-anak mengangguk.
“Aku tidak perlu disebut pahlawan atau tidak. Tidak diabadikan di makam pahlawan pun aku sudah pahlawan. Untuk apa terlalu banyak pahlawan bikin sejarah sumpek saja. Yang kita perlukan sekarang adalah perbuatan kepahlawanan. Ya kan?!!”
Anak-anak diam seribu bahasa. Tetapi bukan lantaran menyimak. Karena salah satu di antaranya diam-diam sudah sempat menyelidiki. Ternyata memang tidak ada kapling untuk Pak Slamet di Taman Pahlawan.

*Cerpen ini diambil dari http://putuwijaya.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar