Senin, 15 April 2013

Fenomena Bahasa Alay : Simbol Generasi Muda Masa Kini



Kata “ciyus” dan “miapa” semakin sering kita dengar di tengah pergaulan sehari-hari. Umumnya, kata-kata yang biasa dilafalkan oleh para remaja tersebut lazim dikenal dengan bahasa alay. Tak hanya bahasa, tulisan alay juga semakin sering menghiasi media sosial atau bahkan sejumlah iklan di media. Kata-kata itu ditulis dengan kombinasi huruf besar, kecil dan angka, sungguh jauh dari kaidah ejaan yang benar. Lalu, seperti apakah sikap kita akan fenomena itu?
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Bramantio., SS. M.Hum menjelaskan gejala tersebut sebagai fenomena bahasa alay. “Alay merupakan suatu fenomena yang terjadi pada sekelompok remaja minoritas dan memiliki karakteristik yang unik. Bahasa yang mereka gunakan terkadang “menyilaukan” mata dan “menyakiti” telinga bagi masyarakat yang tidak terbiasa,” tuturnya saat diskusi  “Fenomena Bahasa Alay dan Jatidiri Generasi Muda Indonesia”, Selasa (20/11) di Perpustakaan Unair.
Ia menjelaskan, anak lebay (alay) memiliki stereotype tentang gaya hidup kampungan atau norak. Istilah alay sendiri menggambarkan kondisi remaja yang tidak memiliki arah tujuan yang jelas dan masih labil. “Fenomena alay saat ini telah menyebar ke lapisan remaja Indonesia, banyak yang menggunakan bahasa alay dalam komunikasi lisan dan tulisan,” ungkap Bramantio.
 Muncul Berkat SMS
Bramantio mensinyalir kemunculan bahasa alay berkembang sejak masuknya teknologi layanan pesan singkat atau sms. “Awal mulanya dari layanan pesan singkat, para pengguna hanya dibatasi untuk mengirimkan pesan sebanyak 160 karakter atau kurang dari itu. Sehingga, pengguna akan didorong untuk menjadikan pesannya seringkas mungkin. Salah satu cara yang digunakan untuk meringkas pesan yakni dengan cara menyingkat kata,” tegasnya.
Lebih jauh, Alay juga semakin berkembang sejak kemunculan situs pertemanan semisal  friendster. “Di Friendster, remaja diberi kebebasan berekspresi  desain tampilan dan foto untuk mendapatkan perhatian yang lebih,” kata Bramantio.
Terlebih lagi, munculnya jejaring social Facebook yang semakin menambah akses seseorang untuk mengungkapkan keadaan dirinya agar mendapat perhatian orang lain. “Biasanya mereka akan menuliskan status dengan isi maupun penulisan yang mencolok sehingga dapat menarik perhatian dari orang-orang yang berteman dengannya.  Penggunaan gaya menulis yang berbeda dan isi status yang berlebihan bisa juga disebut bahasa alay,” imbuhnya.
 Positif vs Negatif
Sebenarnya, bahasa alay memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif dari bahasa alay yakni sebagai media berekspresi bagi remaja yang memiliki kebutuhan untuk diperhatikan lebih. Sementara, sisi negatif bahasa alay membuat bingung bagi orang yang tidak terbiasa berkomunikasi menggunakannya.
“Bahasa alay sebaiknya tidak hanya dilihat dari dimensi positif atau negatif saja, melainkan sebagai bagian dari dinamika bahasa dan berbahasa. Bahasa alay juga merupakan variasi bahasa yang biasa terjadi di ranah kebahasaan apapun dan variasi tersebut tidak berkedudukan sebagai ancaman bagi bahasa Indonesia yang telah baku,”  ujar Dosen Sastra Indonesia itu.
Diskusi tentang Alay yang dihadiri oleh siswa SMP Dhaniswara, SMP PGRI, SMKN 10, SMA 17 Agustus 1945, dan SMA YPPI tersebut mendapatkan antusias dari para peserta. “Kegiatan ini bermanfaat, apalagi ada teman-teman saya yang juga biasa menggunakan bahasa alay. Mereka biasanya update status yang nggak penting, sehari bisa beberapa kali update status,” kata Dhoifatul Agustia, peserta diskusi dari SMKN 10 Surabaya.
“Saya sering mengeluhkan sms dari siswa saya yang sms-nya disingkat-singkat, seperti ‘gw’. Semoga setelah acara ini mereka tahu kapan dan pada siapa mereka dapat menggunakan bahasa alay,” kata Mila Dian Syarofin, S.Pd. guru dari SMP PGRI Surabaya,
Penggunaan bahasa alay memang tidak dapat dihentikan, melainkan dibiarkan berdampingan sebagai variasi kebahasaan, namun, bukan berarti bahasa alay dapat kita gunakan semau kita, melainkan juga harus memahami kondisi kapan dan kepada siapa kita dapat menggunakannya.
*tulisan ini dicopas dari http://www.unair.ac.id/berita.unair.php?id=1436

0 komentar:

Posting Komentar