Ami bertemu dengan Bung Karno.
“Pak!”
“Ya? Ada apa Ami?”
“Kenapa Bapak tidak pernah kembali?”
“Kenapa harus kembali? Sejarah untuk
dipelajari bukan untuk diulangi.”
“Tapi kami perlu Bapak.”
“Memang. Sesuatu yang sudah tidak
ada menjadi berguna, kalau tetap ada mungkin sia-sia.”
“Tidak. Kalau Bapak ada, tidak akan
begini jadinya.”
“Itu rasa hormatmu pada yang sudah
terjadi, yang harusnya membuat kamu bangkit bukannya menyerah.”
“Kami sudah mencoba, Pak, tapi
ternyata tidak ada di antara kami yang kalibernya cukup besar seperti Bapak.”
Bung Karno tersenyum.
“Kamu kurang sabar saja.”
“Tidak! Kami sudah terlalu sabar.
Kami sudah menunggu. Kami memberikan kesempatan, kepercayaan bahkan juga
dukungan. Tetapi harapan kami selalu lebih besar dari apa yang terjadi.”
“Itu namanya kurang sabar.”
“Kami tidak bisa disuruh menunggu
350 tahun lagi. Kita sudah merdeka mestinya kita dapat menikmati kemerdekaan,
bukan menjadi lebih perih. Kita tidak bisa lagi hanya menunggu dan pasrah, Pak.
Kalau terlambat kita tidak akan dapat apa-apa!”
“Lho kamu mau apa? Kemerdekaan kan
sudah ada di tanganmu.”
“Memang tetapi bukan hanya
kemerdeaan politik. Kami juga ingin merdeka dari beban ekonomi. Kami tidak
hanya ingin demokrasi politik, seperti pidato Bapak, kami juga perlu demokrasi
ekonomi.”
“Kan sudah banyak sekali ahlinya.”
“Memang. Tapi masing-masing ahli
punya pendapat berbeda. Yang kami dapat hanya pertentangan.”
“Itu namanya demokrasi.”
“Tidak Pak, bukan itu. Kami ingin
makmur, sejahtera, aman supaya kami tenang. Seperti kata dalang dalam wayang,
kami ingin Indonesia yang gemah-ripah kerta raharja loh jinawi.”
Bung Karno tertawa.
“O kamu juga suka wayang? Tokoh
favoritmu siapa? Karna?”
“Tidak, Pak. Bapak saya yang suka
wayang. Saya lebih suka dongeng-dongeng baru seperti Harry Porter atau
kisah-kisah seperti Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi.”
Bung Karno tertegun.
“Apa itu? Aku belum pernah dengar.”
“Lho Bapak katanya kutu buku. Masak
Bapak tidak pernah baca?”
“Belum.”
“Baca dong Pak. Nanti Bapak tahu apa
yang terjadi sekarang ini. Beda sekali dengan dulu, Pak. Apa yang dulu tidak
mungkin sekarang terjadi. Ini dunia yang lain sekali dengan apa yang Bapak
alami dulu. Sekarang maling ayam bisa dipenjara seumur hidup, tapi rampok
trilyunan dan membuat sengsara rakyat malah bisa berfoya-foya di luar negeri.
Air putih pernah lebih mahal dari bensin Pak. Tapi bensin juga sekarang sudah
mahal sekali. Di sini sekarang ada dosen yang jadi pemulung, Pak.”
” O begitu?”
“Ya! Makanya Bapak harus kembali.
Kami memerlukan Bapak!”
Bukan Karno mengangkat tangannya.
“Tidak mungkin!”
“Kenapa Pak? Bapak tidak cinta
kepada kami?”
“O kalau itu, lebih dari cinta.”
“Kalau cinta kembali dong!”
“Tidak bisa. Karena cinta Bapak
tidak akan kembali, supaya kamu bisa tumbuh sendiri. Dulu Bapak juga begitu!
Sudah ya, Bapak harus pergi, ada undangan untuk bicara di depan PBB!”
“Pak!!!!”
Tapi Bung Karno sudah pergi. Waktu
Ami mencoba berdiri mengejar, tangannya dipegang oleh Pak Amat.
“Ami!”
Ami terkejut dan membuka matanya.
“Sudah siang kok ngelindur. Ayo
bangun!”
Ami mengusap matanya.
“Saya mimpi ketemu Bung Karno.”
“Ya siapa yang tidak. Juni kan bulan
ulang tahunnya. Pengikutnya bahkan juga musuh-musuhnya pasti akan selalu ingat.
Orang besar itu tidak pernah pergi.”
“Tapi beliau bilang, tidak bisa
kembali.”
“Ya tidak perlu karena dia masih di
sini!”
“O masih di sini?”
“Ya masih.”
“Di mana?”
“Panca Sila itu apa?!”
Ami mengangkat tangannya.
“Bukan itu. Kita memerlukan sosok
seperti Bung Karno sekarang, supaya kita kembali bangga jadi orang Indonesia.
Baru kalau kita bangga, kita akan bisa bangkit. Kalau tidak ada kebanggaan,
tidak akan ada tenaga untuk bangkit. Makanya 100 tahun Kebangkitan Nasional
kita masih menggeletak saja koma.”
Amat tertawa.
“Kamu masih ngelindur!”
Ami menggosok matanya.
“Ami bicara soal realita yang kita
hadapi sekarang. Sampai mimpi Ami terus memikirkan negara dan bangsa. Bapak
jangan meremehkan Ami gara-gara Ami masih muda.”
Amat tertawa.
“Kalau kamu benar-benar memikirkan
realita, jangan hanya mimpi, itu lihat sudah jam berapa sekarang. Ayo bantu
ibumu di dapur lagi masak!”
Amat membuka jendela kamar Ami.
Sinar matahari menerobos masuk. Ami menutup matanya karena silau. Hari Minggu
yang mestinya menjadi hari panjang untuk istirahat sudah rusak. Sudah bukan
zamannya perempuan dilempar ke dapur.
“Ayo bangun!”
Ami berdiri kesal. Dia membanting
bantal lalu menarik seprei. Tetapi ketika dia berbalik. Bung Karno berdiri di
pintu dan tersenyum.
“Bapak terkejut mendengar curhatmu
semalam. Tapi waktu kembali ke mari, lebih terkejut lagi melihat warga sedang
kerja bhakti untuk membersihkan lingkungan, seperti di masa lalu. Ternyata
tidak ada yang berubah, Ami. Gedung, kendaraan dan keadaan memang sudah lain,
tetapi hati mereka masih sama. Hanya saja kamu harus berusaha melihatnya,
seperti Ibumu yang sekarang sedang masak untuk dapur umum mereka itu. Coba
lihat!”
*Cerpen ini diambil dari http://putuwijaya.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar